selamat datang sahabat-sahabat yang peduli pendidikan..

Ada Untuk Berbagi,.
Terlahir untuk berproses...
Salam Pendidikan Berkualitas...

Jumat, 25 Juni 2010

budaya organisasi

STUDI KASUS
Kasus yang akan kami angkat adalah fenomena sehari-hari yang sering terjadi bahkan sudah menjadi lumrah dikalangan masyarakat. Seperti contoh sebuah organisasi kecil yang disebut kelurahan. Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah. Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan tidak memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Dalam organisasi di tingkat kelurahan, kita meliha terjadinya penyimpangan demi penyimpangan yang sepertinya telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan. Tidak hanya pada tingkat kelurahan. Ternyata, pada tingkat yang lebih rendahpun anggota organisasi telah membudayakan budaya penyimpangan secara turun menurun. Seolah budaya ini telah menjadi warisan nenek moyang kita.
Salah satunya yaitu pada pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) biasanya masyarakat harus membayar uang sejumlah Rp 15.000-Rp 20.000,- dengan dalih atau alasan sebagai uang administrasi atau uang rokok yang padahal uang itu hanya masuk kekantong petugas itu sendiri. Bahkan kami menemukan sesuatu yang lebih mengherankan ketika seorang bapak dipungut biaya Rp.100.000.- untuk pembuatan KTP, dengan dalih bahwa uang tersebut akan digunakan untuk ongkos para pegawai pembuat KTP yang mampu mempercepat pembuatan KTP. Yang lebih disayangkan lagi, tidak sedikit pula masyarakat yang dengan terbuka mendukung hal tersebut, terutama dikalangan warga menengah atas, yang berfikir bahwa wajar memberikan “tips” atau kata kasarnya “sogokan” bagi pegawai pembuatan KTP asalkan dapat diselesaikan dengan cepat, dan tidak perlu melibatkan orang yang bersangkutan langsung.
Di Cianjur misalnya. Walaupun Bupati Cianjur telah mengeluarkan surat edaran kepada Kecamatan untuk tidak memungut biaya sepersenpun dalam pembuatan KTP sejak 1mei 2007, namun apa yang terjadi di lapangan ? hampir stiap Kecamatan masih saja memungut biaya pembuatan KTP dengan pungutan biaya Rp.10.000,- sampai dengan Rp.30.000,- setiap KTP-nya.
Selain itu petugas juga terkadang mempersulit dalam penyelesaian pembuatan KTP tersebut. Yang seharusnya KTP tersebut dapat selesai dalam jangka waktu 2 minggu, padahal, jangka waktu pembuatan KTP nasional hanya 1minggu. Setelah itu kita bisa langsung memiliki KTP. Tetapi dalam kenyataannya lebih dari waktu yang sudah ditentukan. Hal ini sering terjadi pada masyarakat kalangan bawah yang tidak mampu memberikan “tips” pada para pegawai pembuatan KTP.Praktik ini sudah menjadi kebiasaan dan menjadi budaya yang melekat disebagian besar kelurahan di Indonesia dan banyak menimbulkan protes dari masyarakat khususnya yang kurang mampu.


BAB II
KAJIAN TEORI
PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK
Kata budaya (culture) pertama kali dikemukakan oleh seorang antropologi bernama Edward B. Tylor pada tahun 1871. Menurut pendapatnya, budaya adalah sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, kapabilitas, dan kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu. Dalam sosiologi budaya diterjemahkan sebagai kumpulan simbol, mitos, dan ritual yang penting dalam memahami sebuah realitas sosial.
Adanya konsep budaya yang dikembangkan oleh pakar organisasi menjadi bagian yang erat kaitannya dengan aspek-aspek pengembangan organisasi. Maka muncullah istilah Budaya Organisasi. Secara sederhana budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai dan cara bertindak yang dianut organisasi (beserta para anggotanya) dalam hubungannya dengan pihak luar. Secara umum, perusahaan atau organisasi terdiri dari sejumlah orang dengan latar belakang kepribadian, emosi dan ego yang beragam. Hasil penjumlahan dan interaksi berbagai orang tersebut membentuk budaya organisasi.
Menurut pandangan Davis (1984), budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasional yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasional sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar berperilaku dalam organisasional.
Sedangkan Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik. Sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.

Budaya organisasi juga dapat didefinisikan sebagai system makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Ada tiga belas karakteristik primer yang menangkap hakikat dari budaya organisasi, diantaranya:
Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko
Perhatian terhadap detail. Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail
Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu
Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu
Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukan berdasar individu
Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai
Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo, bukannya pertumbuhan
Dukungan dari manajemen. Tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka
Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai
Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasikan dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional
Sistem imbalan. Tingkat sejauh mana alokasi imbalan (misal kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasi, dan sebagainya
Toleransi terhadap konflik. Tinkat sejauh mana para pegawai di dorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka
Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal
Dengan menilai organisasi berdasarkan ketiga belas karakteristik di atas, maka akan diperoleh gambaran gabungan atas budaya organisasi itu. Gambaran itu menjadi dasar bagi perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, cara penyelesaian urusan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

FUNGSI BUDAYA
Budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam organisasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan pembeda yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain
budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi
budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang
budaya meningkatkan kemantapan system social. Budaya merupakan perekat social yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
budaya juga berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memendu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan



MENCIPTAKAN DAN MEMPERTAHANKAN BUDAYA
Asal Mula Budaya
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum organisasi melakukan segala sesuatu pada sekarang ini sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang telah dilakukan sebelumnya dan tingkat keberhasilan yang telah diperoleh melalui usaha keras tersebut. Ini membimbing kita ke sumber paling akhir dari budaya organisasi yang tidak lain adalah pendirinya.
Para pendiri organisasi biasanya mempunyai dampak besar pada budaya awal organisasi tersebut. Mereka mempunyai visi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu. Ukuran kecil yang lazimnya mencirikan organisasi baru mempermudah pemaksaan pendiri akan visinya pada semua anggota organisasi.
Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara, diantaranya:
1. Para pendiri hanya mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berfikir dan merasakan cara yang mereka tempuh
2. Mereka mengdoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berfikir dan cara berperasaan mereka
3. Perilaku pendiri itu sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka.
Bila organisasi berhasil, visi pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik inilah, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.
Menjaga Budaya agar Tetap Hidup
Setelah suatu budaya terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak mempertahankannya dengan memberikan kepada karyawannya seperangkat pengalaman yang serupa. Tiga kekuatan memainkan bagian sangat penting dalam mempertahankan budaya, diantaranya praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi.
Seleksi. Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Tetapi lazimnya lebih dari satu calon akan didentifikasi sebagai individu yang memenuhi persyaratan bagi pekerjaan tertentu. Bila titik itu telah dicapai, akan diputuskan mengenai siapa saja yang akan dipekerjakan sesuai dengan penilaian pengambil keputusan mengenai baik calon-calon itu cocok dengan organisasi tersebut.
Selain itu, proses seleksi juga memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi yang dilamarnya. Para calon akan belajar mengenai organisasi itu dan jika mereka merasakan konflik antara nilai mereka dengan nilai organisasi, mereka dapat menyeleksi diri kemudian keluar dari kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah, memungkinkan pemberi kerja atau pelamar memutuskan perkawinan jika tampaknya ada ketidakcocokan. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung budaya organisasi yang menyeleksi keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai intinya.
Manajemen Puncak. Tindakan manjemen puncak juga mempunyai dampak yang besar bagi budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakana dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior akan menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan resiko yang akan dialami, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para manajer kepada bawahannya, pakaian apakah yang pantas dipakai, dan tindakan apakah yang akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi, dan imbalan lain.
Sosialisasi. Sebuah organisasi dapat membantu karyawan baru untuk menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi. Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai proses yang terdiri atas tiga tahap: prakedatangan, keterlibatan, dan metamorphosis.
Tahap prakedatangan adalah periode pembelajaran pada proses sosialisasi yang dilakukan sebelum karyawan baru bergabung ke dalam organisasi. Secara eksplisit, tiap individu tiba dengan seperangkat nilai, sikap, dan harapan. Nilai, sikap, dan harapan ini mencakup kerja yang harus dilakukan maupun organisasi itu sendiri. Misalnya, dalam banyak pekerjaan, terutama kerja professional, anggota baru akan menjalankan tingkat sosialisasi awal yang luar biasa melalui pelatihan di tempat kerja dan pengajaran di sekolah. Sebagai contoh sekolah bisnis, biasanya sekolah tersebut akan mensosialisasikan kepada mahasiswanya kepada sikap dan perilaku yang diinginkan oleh perusahaan bisnis. Jikaeksekutif bisnis yakin bahwa karyawan yang sukses itu menghargai etika laba, setia, pekerja keras, berhasrat untuk berprestasi, dan bersedia menerima pengarahan dari atasan mereka, mereka dapat mempekerjakan individu-individu keluaran sekolah bisnis yang telah dibentuknya sebelumnya dalam pola ini. Jadi, sukses bergantung pada sejauh mana anggota yang bercita-cita tinggi itu telah mengantisipasi dengan benar harapan dan hasrat orang di dalam organisasi itu yang bertugas menyeleksi.
Tahap keterlibatan adalah proses sosialisasi dimana karyawan baru melihat apa sesungguhnya organisasi itu dan persimpangan yang mungkin beserta kenyataan yang ada. Di sini individu itu menghadapi kemungkinan pemisahan antara harapannya mengenai pekerjaan, rekan kerja, atasan, dan organisasi itu secara umum dan kenyataannya. Sering kali harapan dan kenyataan berbeda, karyawan baru itu harus menjalani sosialisasi yang akan melepaskannya dari asumsi sia yang sebelumnya dan menggantikannya dengan asumsi lain yang dianggap lebih disukai oleh perusahaan itu. Tetapi, tak jarang pula anggota baru benarbenra kecewa dengan aktualitas pekerjaanya dan kemudian mengundurkan diri. Namun banyak pula anggota baru yang dapat menyelesaikan setiap masalah yang dijumpai dalam tahap keterlibatan. Ini dapat berarti melewati perubahan-perubahan yang disebut tahap metamorphosis
Tahap metamorphosis adalah tahap proses sosialisasi dimana karyawan baru berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja, dan organisasi. Kita dapat mengatakan bahwa proses metamorphosis dan proses sosialisasi saat masuk itu selesai bila anggota baru itu telah merasa nyaman terhadap organisasi dan pekerjaannya. Anggota baru itu merasakan diterima oleh rekan sekerjanya sebagai individu yang dipercayai dan dihargai, merasa yakin bahwa ia mempunyai kompetensi sehingga mampu menyelesaikan pekerjaanya dengan sukses, dan memahami system itu tidak hanya tugasnya sendiri, tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-praktik yang diterima secara informal.




Karyawan mempelajari budaya
Cerita
Para karyawan Nordstrom menyukai cerita berikut. Cerita itu telah sangat menuntun kebijakan perusahaan mengenai pengembalian produk oleh pelanggan: Ketika jaringan pengecer barang-barang istimewa ini masih sangat muda, seorang pelanggan datang ingin mengembalikan seperangkat ban mobil. Pegawai penjualan agak kurang yakin diri mengenai masalah itu. Ketika pegawai dan pelanggan itu berbincang-bincang, Tuan Nordstrom lewat dan mendengar perbincangan itu. Dia langsung berhenti dan menanyakan pelanggan itu berapa dolar yang telah dibayarnya untuk ban itu. Kemudian Tuan Nordstrom menginstruksikan pegawai itu untuk menerima kembali ban itu dan mengembalikan uang tunainya lengkap. Setelah pelanggan itu menerima uangnya dan pergi, si pegawai yang bingung itu memandang bosnya, “Tetapi Tuan Nordstrom, kita tidak menjual ban!” “Saya tahu,” jawab sang bos, “tetapi kita harus melakukan apa saja yang perlu kita lakukan untuk menyenangkan pelanggan. Saya bersungguh-sungguh ketika mengatakan kebijakan pengembalian barang itu memang dilakukan tanpa pernyataan.” Kemudian Nordstrom menelepon seorang teman yang berbisnis suku cadang mobil untuk mengetahui berapa ia mau membeli ban itu.
Cerita tersebut salah salah satu cerita yang beredar di dalam organisasi. Cerita-cerita ini biasanya berisi dongeng peristiwa mengenai pendiri organisasi, pelanggaran aturan, sukses dari miskin ke kaya, pengangguran angkatan kerja, lokasi karyawan, reaksi terhadap kesalahan di masa lalu, dan cara mengatasi masalah organisasi. Cerita-cerita ini menautkan masa kini ke masa lampau dan memberikan penjelasan dan pengesahan atas praktik-praktik dewasa ini. Sebagian besar cerita ini berkembang secara spontan. Namun beberapa organisasi benar-benar berusaha mengelola unsur pembelajaran budaya ini.
Ritual
Ritual merupakan deretan kegiatan berulang yang mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi, sasaran apakah yang paling penting, orang-orang manakah yang penting, dan mana yang dikorbankan. Dosen perguruan tinggi menjalani ritual yang berkepanjangan dalam permohonan selama enam tahun. Pada akhir kurun waktu itu, kolega dosen itu harus membuat salah satu dari dua pilihan: terus berlanjut ke kedudukan sebagai dosen tetap atau mengeluarkan kontrak yang akan berakhir satu tahun. Apa yang perlu dilakukan untuk memperoleh kedudukan tetap itu? Biasanya kedudukan tetap itu menuntut kinerja mengajar yang memuaskan, layanan ke jurusan dan universitas, dan kegiatan keilmuan. Kuncinya adalah bahwa keputusan kedudukan tetap itu, pada hakikatnya, meminta mereka yang telah berkedudukan tetap untuk menilai apakah calon tersebut telah memperlihatkan kecocokan dengan berdasarkan kinerja enam tahun.
Lambang kebendaan
Beberapa perusahaan memberikan kepada eksekutif puncak mereka limosin bersopir dan bila mereka ingin melakukan perjalanan udara, penggunaan jet korporasi tanpa pembatasan. Yang lain mungkin tidak mendapatkan limosin atau jet pribadi, tetapi mereka mungkin asih mendapatkan mobil dan perjalanan udaranya dibayar oleh perusahaan. Hanya saja mobil itu adalah Chevrolet (tanpa sopir) dan tempat duduk dalam pesawat jet itu berada di kelas ekonomi pada perusahaan penerbangan komersial. Tata letak markas perusahaan, tipe mobil yang diberikan kepada eksekutif puncak, dan ada tidaknya pesawat terbang korporasi merupakan beberapa contoh lambing kebendaan. Contoh lain adalah ukuran dan tata letak kantor, keanggunan perabot, penghasilan tambahan eksekutif dan pakaian. Lambang kebendaan ini menyampaikan kepada para karyawan siapa yang penting, sejauh mana egalitarianism yang diinginkan oleh eksekutif puncak, jenis perilaku (misalnya pengambilan resiko, konservatif, otoriter, partisipatif, individualistis, social) yang tepat.
Bahasa
Banyak organisasi dan unit di dalam organisasi menggunakan bahasa sebagai cara mengidentifikasikan anggota budaya atau sub-budaya. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu dan dengan berbuat seperti itu, membantu melestarikannya. Dari waktu ke waktu, organisasi-organisasi sering mengembangkan istilah yang unik untuk mendeskripsikan peralatan, kantor, personil utama, pemasok, pelanggan, atau produk yang berkaitan dengan bisnisnya. Karyawan baru sering dibanjiri dengan akronim dan jargon yang merupakan bagian dari bahasa mereka. Setelah diserap, peristilahan ini bertindak sebagai sebutan bersama yang menyatukan anggota-anggota budaya atau sub-budaya tertentu.
ANGKET

Sangat setuju Setuju Netral Tidak setuju Sangat tidak setuju
1. Saya suka menantang pertanyaan yang dibuat dosen 5 4 3 2 1
2. Dosen saya menghukum berat tugas-tugas yang tidak diserahkan 1 2 3 4 5
3. Dosen saya percaya bahwa “hasil akhir mempengaruhi” 1 2 3 4 5
4. Dosen saya sangat peka terhadap kebutuhan dan masalah saya 5 4 3 2 1
5. Sebagian besar nilai saya tergantung pada bagaimana saya bekerja dengan yang lain dalam kelas 5 4 3 2 1
6. Saya sering merasa gugup dan tegangn bila masuk kelas 1 2 3 4 5
7. Dosen saya lebih menyukai stabilitas daripada perubahan 1 2 3 4 5
8. Dosen saya mendorong saya untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru dan berbeda 5 4 3 2 1
9. Dosen saya kurang toleran terhadap pemikiran yang tidak rapi 1 2 3 4 5
10. Dosen saya lebih memperhatikan bagaimana saya sampai pada konklusi dari pada konklusi itu sendiri 5 4 3 2 1
11. Dosen saya memperlakukan semua mahasiswa sama 1 2 3 4 5
12. Dosen saya tidak suka anggota kelas yang saling membantu dalam tugas 1 2 3 4 5
13. Orang yang agresif dan bersaing mendapatkan keuntungan mencolok dalam kelas 1 2 3 4 5
14. Dosen saya mendorong saya untuk melihat dunia secara berbeda 5 4 3 2 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar